Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial empat artikel tentang pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk di Indonesia yang berjudul “Data yang Mencatat dan Melindungi Semua”
Satu dari empat keluarga dengan anak di bawah usia lima tahun di Indonesia menghadapi risiko tidak bisa mengakses berbagai layanan dasar karena belum memiliki dokumen kependudukan.
Salah satunya adalah Bunga (bukan nama sebenarnya), 20 tahun, ibu dari anak berusia dua tahun asal Sulawesi Selatan. Akibat tidak memiliki kartu keluarga, Bunga dan anaknya bisa jadi terlewat dari daftar warga yang berhak mendapatkan bantuan sosial, baik berupa bantuan tunai maupun bahan pokok, yang disediakan pemerintah bagi warga rentan secara ekonomi selama terjadinya bencana, termasuk pandemi.
Kita mungkin berpikir solusinya cukup mudah, yaitu Bunga hanya perlu mengurus dokumen kependudukannya.
Namun, penelitian kami dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menunjukkan bahwa warga tidak memiliki dokumen kependudukan bukan karena tidak mau mengurusnya, tapi karena terhambat secara struktural.
Penelitian kami yang diterbitkan pada 2016 tersebut adalah salah satu yang menunjukkan bahwa hambatan struktural yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan dokumen kependudukan terkait faktor sosial, ekonomi, atau tata kelola sistem administrasi kependudukan itu sendiri.
Tulisan ini akan menyorot hambatan-hambatan ini secara khusus beserta studi-studi terkaitnya dan upaya apa saja yang bisa dilakukan.
Kemiskinan masih menghambat akses
PUSKAPA mengembangkan sebuah kerangka berpikir untuk memahami dan mengidentifikasi hambatan struktural dalam tata kelola layanan publik, salah satunya terkait administrasi kependudukan (adminduk).
Kami mengidentifikasi tiga lapisan struktural yang menghambat. Lapisan pertama akibat hambatan akses yang disebabkan kemiskinan, keterpencilan, dan sulitnya mobilitas.
Lapisan kedua akibat layanan yang tidak peka terhadap kebutuhan khusus warga. Sementara lapisan terakhir akibat adanya praktik yang diskriminatif terhadap identitas sosial tertentu. Satu individu bisa saja mengalami lebih dari satu lapis hambatan.
Kemiskinan masih menghalangi akses seseorang pada dokumen kependudukan.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 menemukan alasan terbanyak responden belum memiliki akta kelahiran adalah tidak ada biaya (34%). Sayangnya, kita tidak punya data yang lebih baru karena Susenas berhenti menanyakan ini pada tahun-tahun berikutnya.
Meski penerbitan dokumen kependudukan gratis, warga tetap mengeluarkan uang untuk mengurusnya, seperti biaya transportasi, fotokopi, dan materai.
Jarak yang jauh, minimnya transportasi umum, dan buruknya kondisi jalan semakin menyulitkan masyarakat untuk datang ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Penelitian PUSKAPA pada 2016 menemukan masyarakat di Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah, memerlukan waktu dua jam untuk sampai ke ibu kota kabupaten dan rata-rata menghabiskan ongkos sekitar Rp 100.000 sekali jalan ke sana.
Padahal pengeluaran per kapita masyarakat miskin Kabupaten Pekalongan hanya sekitar Rp 500.000 per bulan.
Belum lagi pendapatan harian yang berpotensi hilang akibat waktu yang terambil untuk mengurus dokumen.
Kerentanan multidimensi, tidak hanya kemiskinan
Selain biaya dan jarak yang menghambat, beberapa warga berhadapan dengan tata kelola layanan yang kurang responsif.
Data SUSENAS menemukan alasan kedua terbesar responden tidak memiliki akta kelahiran adalah karena akta lain yang mereka butuhkan belum terbit.
Contohnya kasus Bunga. Dia tidak bisa langsung mendapatkan akta kelahiran untuk anaknya yang menerangkan nama ayahnya karena pernikahan mereka dulu tidak tercatat. Untuk kasus seperti ini, Bunga harus mengurus pengesahan perkawinan dulu di pengadilan, baru mendapatkan buku nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA).
Upaya ini akan lebih rumit juga karena suami Bunga sudah menghilang. Alternatifnya adalah mengurus SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak), namun status perkawinan Bunga harus tercatat di Kartu Keluarga (KK), padahal itu pun tidak.
Contoh lain adalah belum terstandarnya layanan penerbitan dokumen.
Alasannya bermacam-macam, mulai dari kesalahan input data, proses yang lama atau terkendala infrastruktur teknologi, serta tidak pastinya jadwal penerbitan dokumen.
Studi kami menemukan bahwa kekurangan blanko akta kelahiran merupakan hambatan yang sering diungkapkan oleh masyarakat di Lombok Utara dan Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Langkat dan Asahan, Sumatera Utara, dalam memperoleh dokumen.
Keterbatasan kapasitas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang tidak sebanding dengan jumlah permintaan dari masyarakat juga kerap kali menyebabkan antrian yang panjang di kantor layanan. Akibatnya, tidak semua masyarakat yang datang bisa terlayani pada hari yang sama.
Tidak responsifnya layanan mudah terkesan sebagai kendala teknis daripada struktural. Namun, kendala-kendala tersebut berpengaruh lebih banyak pada warga yang mengalami hambatan struktural.
Praktik diskriminatif masih menghambat
Hambatan selanjutnya muncul akibat adanya diskriminasi dari layanan akibat identitas sosial warga.
Tidak hanya keterbatasan fisik yang menghambat warga dengan disabilitas untuk mengurus dokumen kependudukan, tapi stigma dari lingkungan sekitar juga membuat sebagian warga memilih untuk tidak tercatat.
Misalnya, warga yang tinggal di permukiman informal seperti di bawah jembatan atau di tanah negara sulit memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) karena persyaratan registrasi kependudukan adalah bukti domisili.
Lalu kelompok lainnya adalah pengungsi, yang baik karena bencana maupun konflik sosial, seringkali tidak tercatat karena berdomisili tidak tetap.
Aturan persyaratan dalam permohonan dokumen kependudukan yang berlaku saat ini juga berpotensi menyisihkan kelompok-kelompok minoritas di masyarakat. Masyarakat adat pemeluk agama lokal dan penghayat kepercayaan contohnya.
Meski sejak 2016 sudah terdapat Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 yang memungkinkan kolom agama diisi dengan ‘penghayat kepercayaan’ sehingga pemeluk agama lokal sekarang sudah dapat mengurus KTP, namun, pada praktiknya tetap banyak menghadapi kendala.
Untuk itu, mereka harus terlebih dahulu membentuk organisasi yang formal melalui proses di Kementerian Hukum dan HAM, sebuah persyaratan yang tidak semua kelompok bisa memenuhinya.
Upaya untuk mengatasi hambatan struktural
Saat ini sudah ada upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai hambatan struktural seperti mendekatkan layanan, menyederhanakan prosedur , dan mengidentifikasi kelompok rentan.
Berbagai inisiatif masyarakat juga membantu warga, khususnya individu rentan untuk dapat memperoleh dokumen identitas hukum.
Organisasi masyarakat di Sukoharjo dan Kulon Progo di Jawa Tengah, misalnya, membantu mendata penyandang disabilitas.
Namun, pelaksanaannya tidak mudah karena kemampuan pemerintah dan masyarakat di setiap daerah untuk memfasilitasi hambatan struktural ini berbeda-beda.
Oleh karena itu, kerja sama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, maupun swasta diperlukan untuk mengatasinya.
Upaya mengatasi hambatan struktural juga perlu dilakukan dengan perencanaan dan alokasi sumber daya yang tepat agar benar-benar menyasar pada penguatan sistem administrasi kependudukan dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh kelompok rentan.
Di satu sisi, penyedia layanan administrasi kependudukan membutuhkan infrastruktur, fasilitas pendukung, dan kapasitas yang memadai. Di sisi lain, pembuat kebijakan juga perlu mengidentifikasi dan kemudian meniadakan aturan-aturan yang diskriminatif.
Terakhir, data administrasi kependudukan harus lebih banyak bisa bermanfaat bagi pemerintah dalam memberikan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, atau sosial.
Dengan demikian, koordinasi bagi layanan pencatatan dan penerbitan dokumen kependudukan yang terpadu di desa dan garis depan layanan dasar menjadi lebih responsif, inklusif, dan saling menguntungkan agar tidak banyak lagi masyarakat yang mengalami masalah yang sama seperti yang dialami Bunga.
Studi-studi dan program yang berkaitan dengan artikel ini terselenggara atas kerja sama PUSKAPA dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan dukungan Pemerintah Australia lewat program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan). Sebelumnya, studi terkait juga didukung oleh AIPJ (Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keadilan).