Menu Close

Potensi zakat ratusan triliun rupiah, peluang sumber pendanaan inovatif untuk perlindungan sosial

Zakat
Odua Images/shutterstock

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat yang besar dan diperkirakan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)–badan resmi pemerintah yang mengurus zakat–mencapai Rp 233,98 triliun.

Dengan potensi sebesar ini, zakat dapat membantu tugas negara memoderasi ketimpangan ekonomi sosial dan permasalahan kemiskinan. Menurut BAZNAS, zakat memiliki makna yang berpadanan dengan kata pembangunan (an-nama).

Pada hakikatnya, zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Zakat merupakan bagian rukun Islam, dan sejatinya merupakan sikap dan tindakan keberpihakan kepada kelompok yang kurang beruntung, yang digolongkan ke dalam delapan kelompok orang yang berhak menerima zakat (mustahik).

Fungsi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan pun telah diformalkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, yang menyatakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Selain BAZNAS, pengumpulan zakat juga dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta.

Pada 2022, kontribusi anggaran pengentasan kemiskinan dari zakat sebesar Rp. 22 triliun atau setara dengan 5,1% anggaran pengentasan kemiskinan yang dialokasikan negara lewat APBN pada tahun yang sama.

Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran bagaimana zakat merupakan sumber pendanaan inovatif untuk pembiayaan kebijakan perlindungan sosial di Indonesia yang tak kecil jumlahnya.

Terbatasnya anggaran perlindungan sosial di Indonesia

Pendanaan kebijakan perlindungan sosial di Indonesia membutuhkan anggaran yang besar diperkirakan mencapai Rp 479,1 triliun pada tahun 2023. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta terhadap Maret 2022.

Dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 menunjukkan pengeluaran pemerintah Indonesia untuk kebijakan perlindungan sosial dari 2019 hingga 2023 terus mengalami peningkatan di atas 50%. Sebab, pelaksanaan program kesejahteraan sosial dan penanggulangan kemiskinan khususnya melalui perlindungan sosial, membutuhkan alokasi dana yang besar karena skala intervensi, jumlah program, dan cakupan penerima manfaat yang juga besar.

Saat ini sebagian besar sumber pendanaan dan penanggung jawab program perlindungan sosial berasal dari APBN. Pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki peran, namun alokasi pembiayaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk program perlindungan sosial masih belum maksimal.

Melihat situasi tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan reformasi kebijakan perlindungan sosial, antara lain dengan meningkatkan besaran anggaran melalui penambahan sumber pendanaan yang bersifat inovatif (innovative financing). Pendanaan inovatif adalah sumber-sumber dan skema pendanaan yang berasal dari para pemangku kepentingan nonpemerintah, baik lingkup global, nasional, maupun daerah.

Pendanaan inovatif bisa terwujud dengan menemukan sumber dana yang relevan dan berkelanjutan. Terobosan pendanaan baru seperti misalnya pendanaan dari lembaga berbasis keagamaan (seperti Bazis dan gereja), hibah luar negeri, program tanggung jawab sosial perusahaan, filantropi, maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dapat menjadi alternatif pemerintah untuk membiayai program perlindungan sosial.

Zakat bisa jadi solusi

Instrumen keuangan Islam seperti zakat, misalnya, merupakan sumber pendanaan yang dapat dikerahkan untuk pembiayaan kebijakan perlindungan sosial.

Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) bekerjasama dengan UNICEF dan Kementerian PPN/Bappenas pada 2022-2023, menunjukkan bahwa zakat memiliki potensi yang relatif besar untuk mendanai kebijakan perlindungan sosial di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 51 narasumber di tingkat nasional dan provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, yang menjadi wilayah pendampingan UNICEF dalam praktik distribusi perlindungan sosial

Secara keseluruhan, BAZNAS/LAZ se-Indonesia berhasil mengentaskan kemiskinan rata-rata sebesar 48% penerima program penanggulangan kemiskinan dari garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) atau sebanyak 397.419 jiwa, meningkat sebesar 39,41% dibandingkan tahun 2020 yaitu sebanyak 285.063 jiwa. Jumlah mustahik yang dientaskan kemiskinannya oleh program zakat nasional tersebut melampaui target BAZNAS untuk tahun 2021 yaitu sebanyak 370.582 jiwa.

Dari pengumpulan dana zakat, BAZNAS memiliki aset yang cukup besar. Perolehan dana skala nasional yang dikumpulkan pada tahun 2020 mencapai Rp 408 miliar dan meningkat menjadi Rp 542 miliar pada tahun 2021.

Dana tersebut digunakan untuk membiayai beberapa program sosial yang dikelola oleh BAZNAS. Program-program tersebut mencakup tanggap bencana, beasiswa, rumah sehat, pemberian beras, pengembangan ekonomi, pemberdayaan peternak, pengembangan masyarakat, dan keuangan mikro.

Sayangnya, jumlah perolehan itu masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi besarnya dana zakat yang bisa dikumpulkan. Seandainya potensi zakat yang ratusan triliun itu bisa diwujudkan, maka jumlah relatif angka nominal tersebut dibandingkan dengan anggaran perlindungan sosial mencapai 72,46%. Namun dalam kenyataannya, jumlah pendapatan faktual BAZNAS relatif terbatas, hanya mencapai 0,13% terhadap anggaran pemerintah dalam belanja perlindungan sosial.

Walaupun potensi zakat besar, studi kami menemukan bahwa belum semua potensi tersebut dapat dioptimalkan. Ini karena belum optimalnya BAZNAS dalam melakukan pengumpulan, belum meratanya kesadaran dan pemahaman warga tentang zakat, masih adanya pandangan yang meragukan legitimasi pemerintah untuk mengumpulkan zakat dari sudut pandang agama, adanya pandangan bahwa peran pemerintah sebagai pemungut zakat menyaingi peran tokoh/lembaga keagamaan, serta adanya gap kapasitas antara organisasi pengelola zakat.

Tantangan penggunaan zakat untuk perlindungan sosial

Hasil studi yang dilakukan oleh PSKK UGM dan UNICEF menunjukkan bahwa masih ada tantangan dalam pengumpulan, pengelolaan dan penggunaan zakat untuk perlindungan sosial di Indonesia.

Pertama, pengelolaan dana zakat melibatkan tantangan sosiologis yang cukup serius. Dana zakat hanya bisa disalurkan untuk umat Muslim, sementara rumah tangga miskin yang akan menerima bantuan sosial berasal dari lima pemeluk agama dan penganut aliran kepercayaan.

Apabila dana kelolaan zakat digunakan untuk membiayai perlindungan sosial, ini akan berpotensi menciptakan divisi sosial di masyarakat karena bantuan sosial dari dana zakat akan diberikan pada penerima pemeluk agama Islam, sementara pemeluk agama lain akan menerima bantuan sosial dari donasi lembaga agama lainnya.

Kedua, adanya berbagai lembaga pengumpul zakat di daerah (BAZNAS dan LAZ) berpotensi menimbulkan konflik terkait penetapan penerima manfaat, pengumpulan dan pendistribusian zakat antar lembaga. Oleh karena itu, lembaga pengumpul zakat bersama dengan pemerintah daerah membentuk Forum Organisasi Zakat (FOZ) sebagai lembaga yang bertugas melakukan koordinasi antar organisasi pengelola zakat, yang diharapkan dapat mengatasi konflik yang berpotensi tumbuh di antara anggota, juga agar terjadi sinergi antara program pemerintah, BAZNAS dan berbagai LAZ yang ada.

Ketiga, belum terkolaborasinya lembaga pengelola zakat, Kementerian Sosial, Dinas Sosial, serta lembaga pelaksana kesejahteraan sosial sehingga belum ada basis data tertentu yang digunakan dalam penentuan penerima manfaat dan penyaluran zakat.

Forum zakat, sebuah asosiasi dari semua lembaga zakat di Indonesia, dapat membantu mengidentifikasi dan menargetkan penerima manfaat untuk menghindari tumpang tindih program bantuan sosial pemerintah dan memastikan jangkauan bantuan sosial yang lebih luas. Dengan sistem distribusi yang cukup mapan, lembaga-lembaga zakat juga dapat berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, pemerintah pusat, dinas sosial pemerintah daerah, dan otoritas tingkat desa untuk mengurangi kemiskinan dengan menyalurkan dana zakat ke sasaran penerima manfaat yang belum tercakup oleh program bantuan sosial pemerintah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,800 academics and researchers from 4,959 institutions.

Register now